Menziarahi Jejak Sejarah Islam di Masjid Kiai Muara Ogan

Menziarahi Jejak Sejarah Islam di Masjid Kiai Muara Ogan
Tampak depan Masjid Kiai Muara Ogan dari dermaga (sumber foto : redaksi)

Tak sulit mencapai Masjid Ki Muara Ogan dari pusat Kota Palembang. Baik di abad ke-19 maupun di abad ke-21, letak masjid cagar budaya tersebut tetaplah strategis. Masjid tersebut berada tepat di belakang Stasiun Kertapati.

Penasaran dengan asal namanya, saya pun memasuki komplek Masjid Ki Merogan melalui jalur darat. Sebuah gapura bertuliskan nama masjid tersebut tampak  mentereng dari kejauhan. Sedikit mengejutkan sebenarnya, mengingat letak jalan masuknya yang tidak terlalu jauh dari jalur kereta api yang biasa digunakan PT. Bukit Asam Persero untuk mengangkut batu bara.

Sepintas tak tampak ada yang spesial dari bangunan berusia hampir satu setengah abad tersebut. Saya baru menyadari sesuatu saat mengitari masjid tersebut hingga ke bagian belakangnya (yang sebenarnya bagian depan). Masjid Ki Muara Ogan ternyata berhadapan langsung ke muara pertemuan Sungai Musi dan Sungai Ogan! Hal tersebut sedikit menunjukkan asal-usul nama masjid, sekaligus membuktikan bahwa Masjid Ki Muara Ogan dulunya kerap disambangi umat muslim melalui jalur air.

Melalui Kak Ismail, salah seorang pengurus Masjid Ki Muara Ogan, saya mendapatkan sejumlah informasi tentang sejarah Masjid Ki Muara Ogan. Konon, masjid tersebut dulunya bernama Masjid Jami’ K.H. Abdul Hamid bin Mahmud, yang namanya diambil dari nama pendirinya sendiri. K.H. Masagus H. Abdul Hamid adalah seorang saudagar sukses pada masanya. Ia bersama sanak-kerabatnya sepakat membangun sebuah masjid yang berlokasi di tempat tinggal mereka, Kampung Karang Berahi, pada tahun 1871 dengan dana pribadi. Masjid tersebut kemudian hari dikenal dengan nama Masjid Ki Muara Ogan atau Masjid Ki Merogan, sebutan lain untuk K.H. Abdul Hamid. Usut punya usut, ternyata Kak Ismail yang menjadi informan saya sendiri adalah keturunan generasi kelima dari Ki Muara Ogan. “Asal sebutan Muara Ogan itu dari orang zaman dulu yang sering beribadah di masjid ini. Soalnya, letak masjidnya ada di Muara Sungai Musi dan Sungai Ogan”, tutur Kak Ismail.

Letak masjid yang strategis, yaitu di tepi perairan muara Sungai Musi dan Sungai Ogan membuat Masjid Ki Muara Ogan ramai dikunjungi umat muslim sejak abad ke-19 lewat jalur air. Hal tersebut diperkuat dengan keberadaan dermaga di bagian muka Masjid Ki Muara Ogan, tempat masyarakat hingga kini sering menambatkan kapal.

Karena usianya yang cukup tua, Masjid Kiai Muara Ogan tak luput dari beberapa renovasi. Salah satunya adalah renovasi besar-besaran pada tahun 1989 yang didanai langsung oleh Kms. H. Abdul Halim bin Kemas H. Ali, salah satu orang terkaya di Palembang pada masa itu. Renovasi tersebut meliputi peninggian plafon, revitalisasi kubah limas, pemasangan keramik lantai serta penggantian kusen jendela dan kayu. “Alhamdulillah pemerintah Palembang juga turut mendanai dalam beberapa kali renovasi masjid”, tambah Kak Ismail.

Kisah tentang Kiai Muara Ogan dan Masjid Ki Muara Ogan sendiri sering dikaitkan dengan beberapa hal keramat oleh masyarakat Palembang. Konon meski berada tepat di tepi Sungai Musi, Masjid Ki Muara Ogan tak pernah sekali pun banjir.

Kisah lainnya yang menarik tentang Kiai Muara Ogan berkaitan dengan salah satu perkataan Kiai Muara Ogan yang terkenal : dimana ada air, disitu ada kehidupan. Pada masa itu, beberapa orang tentara Belanda hendak mengejek Kiai Muara Ogan karena perkataan tersebut. Tentara Belanda tersebut mengatakan bahwa di dalam buah kelapa juga terdapat air, tapi tidak ada makhluk yang hidup di dalamnya. Mendengar ejekan tersebut, Kiai Muara Ogan pun memetik sebutir kelapa, lalu membelahnya di hadapan orang Belanda tersebut. Betapa terkejutnya orang Belanda tersebut ketika seekor ikan keluar meluncur dari dalam batok kelapa yang terbelah.

Selain Masjid Ki Muara Ogan di Karang Berahi, ternyata Kiai Muara Ogan juga turut mendirikan masjid di tempat lain, yaitu Masjid Lawang Kidul di 5 Ilir, Palembang. Kedua masjid tersebut yang awalnya milik pribadi keluarga Kiai Muara Ogan akhirnya diwakafkan untuk kepentingan umat pada tanggal 6 Syawal 1310 H (23 April 1893 Masehi). Kiai Muara Ogan wafat pada tanggal 31 Oktober 1901 di usia 90 tahun dan dikebumikan di dalam komplek Masjid Kiai Muara Ogan bersama beberapa kerabatnya.

Selain sebagai tempat ibadah, Masjid Kiai Muara Ogan juga berfungsi sebagai makam dan museum mini berisi peninggalan-peninggalan Kiai Muara Ogan semasa hidup. Museum di Masjid Kiai Muara Ogan sendiri menampilkan bedug asli pertama masjid tersebut, beberapa helai baju gamis dan rompi Kiai Muara Ogan, serta kemudi perahu yang konon dulu sering digunakan Kiai Muara Ogan semasa hidupnya.

Berbeda dengan tempat wisata pada umumnya di Palembang, Masjid Kiai Muara Ogan bukan hanya destinasi wisata sejarah, namun juga wisata religi. Diperlukan sikap yang santun dan khusus ketika berkunjung ke destinasi wisata religi seperti masjid tersebut. Kak Ismail selaku salah satu keturunan Kiai Muara ogan sekaligus pengurus Masjid Kiai Muara Ogan turut menyampaikan pesannya pada kawula muda yang gemar berkunjung ke tempat-tempat wisata.

“Berkunjung ke masjid itu pada hakikatnya untuk memperdekat diri pada Allah. Sering-seringlah ke masjid, berziarah. Insya Allah dengan sering berziarah, kita akan selalu ingat pada kematian, selalu ingat pada Allah”, pesannya di akhir kunjungan saya.


Sumber: (Buku Sejarah Masagus Haji Abdul Hamid (Kiai Muara Ogan)

Pilih Bangga Bangga 75%
Pilih Sedih Sedih 0%
Pilih Senang Senang 25%
Pilih Tak Peduli Tak Peduli 0%
Pilih Terinspirasi Terinspirasi 0%
Pilih Terpukau Terpukau 0%

Bagaimana menurutmu kawan?

Berikan komentarmu