Sebuah Kesempatan (I)

Sebuah Kesempatan (I)
Senja di Palembang © Instagram @abdurahmanarif

“Andai saja bisa diri bawa segenap bekal dari sepanjang perjalanan ini. Hanya untuk memulai kembali perjalanan dengan rute serta waktu yang sama. Mungkin tak banyak prasangka, amarah, kesedihan, kecewa, dan jarak diantara pertemanan, mewarnai perjalanan ini.”Sepotong kalimat itulah mengakhiri buku catatan ini. Seharusnya berada dihalaman 365 namun menjadi halaman ke 851. Ku simpan buku berwarna hitam yang bagian depan bergambarkan teman perjalanan, segelas kopi hitam yang dibalik. Bersamaan pengumuman.“Kereta api Sriwijaya tujuan akhir Kertapati akan segera diberangkatkan.”

Sepanjang malam ini kembali kunikmati di dalam kereta. Sejak halaman keseratus aku menyukai kereta, bersama perjalanan dan kota tujuannya. Sebuah kota diujung pulau ini, kriteria ideal untuk menyendiri dari rutinitas. Sekalipun kerjaanku hanya menetap pada sebuah ruang disudut PKM. Maaf rekan-rekan di kota ini, aku memang tak suka jalan-jalan. Maaf saat kalian bermain ke tempatku, aku paksa kalian berjalan-jalan.

Satu hal selalu dinanti bila naik kereta, adalah siapa yang disebelah. Sepengalaman saya tak pernah duduk bersama perempuan. Mulai dari teman sebaya hingga mereka yang telah menghabiskan satu dasawarsa lebih dari aku. Sepertinya kali ini bangku akan kosong setidaknya hingga setengah perjalanan. Berarti itu kota salah satu teman saya pada kepengurusan yang sama.

Selepas memberi kabar keberangkatan lewat pesan singkat. Tidur menjadi pilihan, walau tak banyak bergerak selama pelarian. Tapi pikiran sepertinya lebih berat daripada kegiatan fisik.

Tepat tengah malam sesuai perkiraan, kereta tiba disetengah perjalanan. Kota salah satu teman baikku, namun belakangan komunikasi sedang tidak baik-baik saja. Diapun tak tahu tentang keberangkatanku kali ini, beruntung dia sudah diingatkan untuk kegiatan dua minggu kedepan.

“Mas, ini bangku 3c ya ? permisi ya mas.”kata pemuda berjaket hijau itu.

“Iya mas, silahkan.” Jawabku setengah sadar.

“Saya Alfi mas.”

“Nurdin mas.”

“Masih kuliah ya mas ?”

“Minggu depan sidang akhir mas. Mas sendiri ?”

“Kerja mas, pulang pergi diakhir pecan mas.”

“Baiklah mas, izin tidur ya mas.” Tutupku sembari meletakan kembali ponsel pada kantong celana.

Minggu depan, setelah tertunda dua minggu dan memilih berlari ke kota ini. Waktu tepat untuk melepaskan status mahasiswa selama 4.5 tahun menikmatinya. Sebuah kesempatan untuk memulai hal baru. Tak sebatas melepas status mahasiswa tapi juga buku catatan berwarna hitam. Didalamnya seperti warnanya, tak pernah padam.



Pilih Bangga Bangga 0%
Pilih Sedih Sedih 0%
Pilih Senang Senang 0%
Pilih Tak Peduli Tak Peduli 0%
Pilih Terinspirasi Terinspirasi 0%
Pilih Terpukau Terpukau 0%

Bagaimana menurutmu kawan?

Berikan komentarmu