CERPEN : Pamah Salak

CERPEN : Pamah Salak
Gunung Dempo © A. Redho Nugraha, srivijaya.id

Sudah dua hari kami menginap di rumah panggung Emak. Sebagaimana pagi-pagi sebelumnya, pagi itu aku terbangun dengan gampang dikarenakan beberapa sebab. Pertama, karena sedari awal aku memang tak mampu tidur pulas di ruangan itu bersama delapan makhluk lainnya yang tidur berjejer seperti sarden dalam kaleng. Kedua, karena udara Dempo yang rajin sekali membangunkanku untuk sholat Subuh. Jika perlu ditambahkan yang ketiga, adalah karena harum aroma tumisan sayur. Saban hari begini Emak selalu memasak sesuatu untuk anaknya dan untuk kami, bujang-gadis malas yang kerjanya kalau tidak berswafoto, hanya tidur-tiduran tidak tahu diri di rumah ini.

- - - - - - -

Pagi itu setelah sholat Subuh, aku duduk di beranda rumah Emak sambil menyesap kopi hitam. Lain memang, pikirku. Minum kopi di tempat asalnya langsung, sambil bersitatap dengan raksasa Dempo yang lamat-lamat mulai menampakkan dirinya dari balik halimun pagi. Sesekali angin dingin berhembus dari kaki Bukit Barisan di kejauhan, seperti napas raksasa, mengibarkan sehelai umbul-umbul yang tergantung lemas di beranda rumah.

Praktik Kuliah Lapangan Mata Kuliah Ekonomi Perdesaan.
Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Indralaya

Suhu di Desa Pamah Salak saat itu paling tidak 18 derajat celcius. “Selalu lebih dingin kalau lagi musim kemarau”, begitu kata Bapak hari sebelumnya. Aku merapatkan jaket dan sarung ke tubuhku, mengabaikan tatapan heran teman-temanku yang mulai bergabung di beranda rumah. Mereka mungkin tengah menyaksikan sesuatu yang tak lazim : seorang perempuan dengan rambut yang masih basah, duduk berbalut sarung dan jaket, menyeruput kopi di beranda rumah panggung, ditemani sepiring ubi goreng dan asbak rokok yang kosong.

“Kurang koran Sripo samo rokok Samsu bae, lah persis nian kau cak bapak aku”, guyon Jaka. Aku tertawa, lalu pura-pura menendangnya jatuh dari beranda.

Setelah mengisi perut dan berbincang dengan Umar, anak bungsu Emak, kami memutuskan untuk turun kembali ke sawah di sekeliling Desa Pamah Salak. Tentu selain membangun pencitraan hakiki di instagram masing-masing, tujuan lainnya rombongan ini adalah melaksanakan tugas kuliah. Setidaknya masih butuh dua belas responden petani padi lagi, barulah survei kami bisa dinyatakan cukup. Setelahnya, tinggal membuat laporan—yang hingga kini masih belum ada titik terang tentang siapa yang akan mengerjakannya. Eh, aku punya firasat tidak enak soal ini.

Kami meninggalkan rumah pukul delapan teng. Faisal sebagai ketua kelompok mendului kami menyusuri jalan setapak di antara rumah warga. Perlahan-lahan, langkah kaki kami menjauhkan kami dari pemukiman warga, menuju pematang sawah di sisi Selatan Desa Pamah Salak. Sementara jalan semakin menanjak, Gunung Dempo tampak semakin jelas di depan mata kami. Warnanya yang biru seperti langit yang melatarinya, kini berubah hijau gelap. Kami menjadi antusias hanya dengan melihatnya. Siapa yang tidak? Setelah semua butiran debu dan kabut asap yang biasa kami hirup tiap kali berangkat ke kampus di Indralaya, udara di kaki Dempo ini bagaikan angin surga. Bahkan udaranya tetap sejuk walau matahari sudah tak lagi setinggi tombak. “Udaranya ngejebak banget. Pulang dari sini, belang semua kulit kita”, ujar Kak Edo, senior yang mendampingi kami ke lapangan.

Kami sesekali berhenti untuk berfoto. Sering sekali, lebih tepatnya. Malah mungkin tiap 10 langkah sekali. Kami berfoto dengan Gunung Dempo, sawah, hewan ternak, kotoran sapi, gerobak pembajak sawah, juga mesin penggiling padi. Kami berfoto dengan semuanya, dengan rakusnya.

Pemandangan gunung dan sawah tentu menjadi topik favorit Ekonomi Pembangunan angkatan 2013 pekan ini. Sejak tiba di Kecamatan Jarai dua hari lalu, di luar dugaan, aktivitas sosial media kami semua justru jadi lebih gencar, seolah jarak antara ibukota dan kecamatan kecil tempat kami berada saat ini tak cukup untuk mengisolasi kami dari celebrity syndrome.Tak terhitung sudah berapa foto yang dikirimkan tiap kelompok ke grup LINE angkatan kami. Semuanya dalam tema perdesaan dan Gunung Dempo. Semua kelompok seolah secara elegan menantang kelompok lain untuk keren-kerenan foto. Semoga saja, semuanya tidak lupa apa tujuan awal kami kesini.

Saat itu Bulan April dan Tanah Besemah tengah dirundung pancaroba. Tidak semua penduduk meneruskan aktivitas bertani padi di sawah mereka. Kebanyakan sawah yang sudah dipanen sengaja ditinggalkan, dibiarkan mengering, sementara pemiliknya beralih merawat  tanaman sayur atau kopi mereka di sisi lain Desa Pamah Salak untuk sementara waktu. Kondisi tersebut membuat kami kesulitan mencari responden dari hari sebelumnya. Penduduk yang masih terus bertani adalah mereka yang baru mulai menanam padi di Bulan Januari hingga Bulan Februari lalu. Selain daripada itu, yang kami temui hanyalah petak-petak sawah yang kering dan retak terpanggang sinar matahari.

Aku, Mega, Gilang dan Kak Edo menghampiri salah seorang petani yang tengah duduk di gubuknya sambil  mengawasi padi-padinya yang tengah beralih warna. Kami menyapa, berkenalan, bertanya, berterima kasih, lalu pamit. Segampang itu. Lima menit, satu responden. Waktu seharian ini harusnya cukup untuk melengkapi survei kami.

Sementara Jaka, Dian, Rini, Yanto dan Faisal mampir ke sawah lain tak jauh dari sana, kami melanjutkan perjalanan menyusuri tikungan jalan tanah yang becek, hingga kami tiba di sebuah rumah panggung dengan sepetak sawah di halamannya. Kak Edo dan aku memasuki pagar kayunya mendahului Gilang dan Mega, mengabaikan gonggongan anjing galak yang terikat di tiang rumah tersebut.

Kami disambut dengan hangat oleh seorang perempuan yang menggendong bayi, juga seorang anak perempuan yang bermain mobil-mobilan plastik di beranda rumah tersebut. “Mirip kau, Rin. Anaknyo”, bisik Mega, sebelum kusikut tulang rusuknya.

Kami lalu duduk di beranda yang sempit itu. Aku mengambil tempat di sebelah perempuan muda tersebut, bersiap dengan lembar-lembar kuesioner yang akan kuisi seraya Kak Edo mewawancarainya.

Nama perempuan tersebut ternyata Sulasih, dan aku tercekat saat menuliskan usianya di kuesioner : 20 tahun—kami seumuran. Jumlah tanggungannya dua orang, merujuk pada kedua anak yang kini ada di hadapan kami—yang ternyata adalah anaknya. Bisa kurasakan Mega dan Gilang terdiam ganjil di tempat duduk mereka, walau tersamar oleh suara Kak Edo yang terus berbincang bersama Sulasih.

Kak Edo berbasa-basi tentang berapa umur anaknya yang main mobil-mobilan. Sulasih menjawab tiga tahun. Itu artinya ia melahirkan di usia 17, dan kemungkinan menikah di usia 16. Menikah? Sementara kepalaku hanya dipusingkan oleh propaganda keunggulan kelas IPS dan IPA di usia tersebut, Sulasih sudah berencana untuk beranak-pinak. Lalu sekarang kami duduk bersebelahan, dengan dia yang menggendong anak bayinya dan aku yang menimang tumpukan kuesioner kusut. Takdir memang jenaka.

Kami pamit tak lama kemudian. Aku memeluk Sulasih dan mengusap kepala anak-anaknya. Aku merasa beruntung sekali karena bertemu keluarga kecil ini.

Keluar dari pagar rumah Sulasih, kami berpapasan dengan Jaka dan yang lainnya. “Banyak petani yang lagi dak nanem padi sekarang. Susah cari responden”, ujar Rini. Kami menghitung-hitung jumlah kuesioner kami yang sudah terisi, lalu berembug sejenak.

Mungkin setelah beberapa petak sawah lagi, kami akan kembali ke rumah Emak.

- - - - - -

Atas saran Bang Umar, sore itu kami akan menyambangi rumah petani padi di Desa Pamah Salak satu per satu. Dengan demikian kami bisa menganulir jumlah responden yang sedikit akibat perubahan musim. Petani-petani tersebut tak perlu sedang bercocok tanam. Mereka hanya perlu mengisi kuesioner kami sesuai dengan panen terakhir mereka. Astaga, kenapa cara ini tidak terpikirkan dari awal?

Kali ini tidak semua anggota kelompokku turut andil. Lelah, lesu, letih, letoy, loyo dijadikan alasan. Nuansa mager memang sudah terasa sejak kami pulang dan makan siang di rumah Emak. Mereka yang kini gegulingan malas di lantai rumah panggung Emak menatapku setengah menggibah. Aku tahu apa maksud tatapan itu : kau sajalah yang kerjakan semuanya. Aku muntab. Bukan pertama kalinya aku diperlakukan seperti ini dalam sebuah kerja kelompok. Padahal baru beberapa menit lalu kami tertawa dan bercanda bersama, rupa-rupanya itu bentuk keakraban yang hanya muncul saat hidup sedang berjalan dengan mudah-mudahnya.

Aku menguncir rambutku ke belakang, menyabet jaket almamaterku yang kugantung di kursi lalu pergi tanpa basa-basi. Hanya Faisal dan Kak Edo yang mau repot-repot menyusulku, tergopoh-gopoh. Syukurlah, masih ada gentleman dalam kelompok ini. Bertiga saja sudah cukup. Kami pergi ke arah yang ditunjukkan Bang Umar, ke sebuah rumah panggung milik seseorang bernama Masturah.

Aku mengetuk pintu rumah itu sembari mengondisikan air mukaku. Seorang perempuan paruh baya lalu membuka pintu dan menatap kami dengan heran.

“Selamat sore, Bu. Kami mahasiswa PKL Universitas Indralaya yang menginap di rumah Mak Saerah”.

Dan kami tak perlu menjelaskan apa-apa lebih jauh lagi. Ibu paruh baya tersebut langsung mempersilakan kami masuk dan duduk di rumahnya. Sejenak kemudian kami sudah dijamu dengan kopi dan buah cempedak yang terbelah.

Jika kalian berdusun di Tanah Besemah, tentu adat menjamu tamu ini bukan lagi sesuatu yang asing. Adalah sebuah kesopanan bagi seorang tuan rumah untuk menyajikan hidangan dan minuman terbaik kepada tamu yang berziarah. Sebaliknya, adalah sebuah kekurang-ajaran jika seorang tamu tidak menyentuh apa-apa yang telah disajikan tuan rumah dengan repot. Maka untuk menampik predikat ‘kurang ajar’ itu, aku pun mencomot sebutir cempedak dan mengunyahnya—meski sebenarnya aku kurang suka cempedak. Sementara Faisal dan Kak Edo, aku tak tahu mereka hanya menjaga sopan santun atau memang doyan cempedak. Dan untuk urusan kopi, kami sudah mafhum. Minuman kaum sufi ini memang minuman wajib warga Jarai, mau bagaimana lagi. Kami harus terus menenggaknya walau sudah ‘mabok kopi’ dua hari ini.

“Kami mau tanya Bu, seputar hasil tani padi Bu Masturah sekeluarga waktu panen terakhir”, ujar Kak Edo membuka obrolan. Aku pun mencatat semua jawaban Bu Masturah, mulai dari luas lahan, biaya produksi, jumlah panen, harga jual gabah dan jumlah padi yang dikonsumsi sendiri. Untuk poin pertanyaan ketiga dan keempat, Bu Masturah tak langsung menjawab.

“Sekarang nih lagi susah, nak”, ucapnya lirih, seraya menatap kolong meja. Bu Masturah berkisah bahwa panen terakhir keluarganya sudah lewat dua bulan yang lalu. Saat itu juga barulah kami tahu bahwa yang tengah dialami keluarga Bu Masturah bukan hanya musim pancaroba, tapi juga musim paceklik.

“Panen terakhir cuma dapat 5 kuintal. Padahal normalnya bisa dapet 1 atau 1,2 ton”, ujar Bu Masturah. Tentang musababnya, Bu Masturah bertutur bahwa sebagian panennya dibawa lari oleh tikus. Ya, tikus. Tanpa tanda petik. Lama hening berlalu di ruangan itu, sebelum kami menuntaskan wawancara dan memutuskan pamit dari rumah Bu Masturah.

 Atas arahan dari Bu Masturah, kami pun beralih ke rumah tetangganya, Pak Andi Lala. Pada bubungan rumah yang berbeda, kami memperoleh cerita yang serupa tapi tak sama. Meski sawahnya tak diserang tikus, panen terakhirnya Bulan Maret lalu juga ikut turun. “Biasonyo dapet 2 ton, terakhir panen 1,5. Tapi alhamdulillah, masih biso panen. Idak macem Pak Irawan, sawahnyo keno wereng. Hampir habis padinyo, kasihan”, kisah Andi Lala seraya melinting sirih.

Tentu tidak semua rumah yang kami lewati menawarkan kami cerita sedih—bahkan rumah keempat menitipi kami sekantung ubi kayu untuk kami makan di rumah Emak. Namun bisa kami bertiga sadari bersama bahwa ada pemahaman yang berubah kiblat dalam diri kami masing-masing.  Terlepas dari kesuburan tanah dan keindahan alamnya, masyarakat petani Besemah nyatanya masih harus bekerja keras tiap hari agar bisa menafkahi keluarga.

Di hari pertama kami tiba di rumah Emak, Bapak bercerita tentang proses pertanian padi, mulai dari penyemaian bibit hingga penggilingan padi yang bisa berlangsung selama empat bulan lamanya. Bayangkan jika kalian hidup di Desa Pamah Salak, dimana satu-satunya kebutuhan hidup yang paling mendesak dan paling mungkin untuk dipenuhi adalah kebutuhan pangan yang diperoleh lewat berladang, lalu dalam satu-satunya usaha kalian untuk menafkahi keluarga lewat berladang, kalian gagal. Sesuatu yang dingin dan tajam menyileti hatiku sedikit-sedikit. Aku hampir menangis saat membayangkan seandainya petani yang gagal panen tersebut adalah orangtuaku.

“Aku seneng nian kalu ado mahasiswa dateng ke tempat kami”, ujar Pak Nyono, pemilik rumah ketujuh yang kami kunjungi. Pak Nyono nyengir menatap kami. Gigi depannya ompong dan kopiahnya tersongkok miring, menampakkan sebagian kepalanya yang sudah ditutupi uban. Aku jelaskan bahwa kami mahasiswa fakultas ekonomi, bukan pertanian, apalagi mahasiswa prodi proteksi tanaman yang paham tentang cara menaggulangi hama dan penyakit tanaman. Tapi Pak Nyono masih menatap kami bangga, entah apa yang membuatnya demikian.

“Anak aku”, katanya lamat-lamat kemudian, “hampir bae masuk kuliah di Universitas Indralaya”. Ia masih nyengir bangga, sambil menatap asbak di hadapannya. Aku tak tega bertanya apa sebab anaknya hanya ‘hampir’ berkuliah di Universitas Indralaya. Tapi yang jelas, saat itu ia pastilah tengah membayangkan anaknya tersebut mengenakan jaket almamater yang tengah kami kenakan. “Rajin-rajin kuliah yo, nak. Semoga jadi uong hebat galo”, pesan Pak Nyono saat kami melewati ambang pintu rumahnya. Kami menyalami tangannya dengan perasaan sayang bercampur iba.

Sore itu tujuh rumah kami sambangi. 25 responden sudah diwawancarai. Aku harusnya lega. Tapi selepas kami bertolak dari rumah Pak Nyono, aku tak bisa menahannya lagi. Aku berjalan cepat-cepat mendahului Faisal dan Kak Edo, menyembunyikan butir-butir hangat yang menghambur keluar begitu saja dari sudut mataku.

“Rin?”, panggil Faisal, tapi aku hanya diam dan terus berjalan. Aku kemudian berhenti di pinggir sebuah lapangan sempit tempat anak-anak kecil tengah bermain layang-layang. Aku tetap tidak menggubris Kak Edo dan Faisal yang tak henti menatapku dalam diam, tidak hingga air mataku benar-benar kering. Mereka mungkin tak paham bagaimana bisa Karin, seorang gadis Mapala, bisa menangis hanya karena perkara padi tetangga yang gagal panen. Aku pun tak paham. Tapi yang jelas, rusak sudah reputasiku sebagai gadis tomboi.

Sebenernyo”, akhirnya aku membuka mulut, “apo artinyo kedatengan kito bagi warga desa ini?”

“Kito dateng, foto-foto, numpang makan, pindah tempat tedok kesini, terus buat apo? Kito dak kasih manfaat buat mereka yang kito repotin, mereka yang sebenernyo lagi susah. Malah cuma sibuk panjat sosial di Instagram”.

Kalimat-kalimat itu melayang di udara tanpa ada yang menanggapi. Kak Edo dan Faisal memilih mendiamkanku sejenak. Kami akhirnya duduk di pinggir jalan. Lama kami hanya mentatapi anak-anak yang bermain di lapangan, sambil mendengarkan nyanyian Murai Batu dan gemericik air selokan yang jernih. Lalu tanpa diduga, sekonyong-konyong Kak Edo membuka obrolan.

“Di dusun ibuku”, gumamnya, “gak ada petani yang gagal panen”.

Aku mendengarkan dalam diam.

“Karena semuanya petani karet”, tambahnya sambil tertawa garing. Aku sebal. Apanya yang lucu?

“Tapi mereka semua berhenti menyadap getah karet waktu harganya anjlok. Dari biasanya tiga-puluh ribuan sekilo bisa jadi tiga ribu sekilo. Siapa yang tidak stres kalau keadaannya begitu?”, tanya Kak Edo. Lalu tanpa ada yang menjawab, ia meneruskan curhatnya. “Berbeda dengan padi, karet yang tidak laku tidak bisa dimakan sendiri. Kalau menghasilkan duit dari karet jadi mustahil, maka satu-satunya cara untuk meneruskan hidup adalah dengan berhenti menyadap getah karet lalu menanam yang lain”.

Aku masih belum paham apa yang hendak Kak Edo sampaikan.

“Syukurnya petani padi tidak seperti petani karet. Mereka akan tetap menanam padi selagi memungkinkan, bahkan meski harga beras jatuh sejatuh-jatuhnya. Karena jika mereka berhenti menanam padi, mereka sendiri tidak bisa makan. Jika mereka berhenti menanam padi, beras siapa yang akan kita makan?”.

Ia berhenti, mengatur napas.

“Menurut Kakak kita tidak sepatutnya merasa prihatin pada petani yang panennya kurang berhasil. Petani padi sudah merawat tanaman mereka dengan sepenuh hati, menghasilkan beras terbaik yang bisa mereka hasilkan. Mereka lebih layak diapresiasi daripada dikasihani. Dan kita, sebagai mahasiswa ekonomi yang tidak tahu apa-apa soal bercocok tanam, hanya punya satu cara untuk menghargai mereka, yaitu dengan menikmati setiap butir nasi yang mereka hasilkan untuk kita”, tandas Kak Edo.

Aku diam dan menunggu, berharap Kak Edo akan melanjutkan ceritanya. Tapi ternyata ceritanya sudah selesai. Meski singkat, namun sesuatu tentang cerita Kak Edo berbekas di hatiku. Kami melamun menatap alam Besemah yang asri, ditingkahi anak-anak kecil yang kini berlarian mengejar layangan putus.

Lihatlah anak-anak itu! Tidak sedikit pun gurat wajah mereka meminta belas kasihan pada siapa pun, apalagi kepada alam. Mereka tertawa sangat lepas, sangat bersukacita dengan hidup mereka yang apa adanya. Seperti itulah orang-orang yang dibesarkan berdampingan dengan alam. Mereka hanya tahu cara memberi, mencipta dan berpuas diri dengan apapun hasil yang mereka peroleh. Sesuatu yang hangat mengaliri dadaku. Aku lalu beranjak dari tempat dudukku, mengajak Faisal dan Kak Edo pulang ke rumah Emak dengan perasaan yang baru, perasaan lega yang sama sekali tak ada hubungannya dengan hasil survei kami.

- - - - - -

Setibanya di rumah Emak, aku langsung turun ke dapur dan mencari Emak Saerah. Kudapati ia tengah duduk di lantai sambil memetiki daun labu untuk lauk makan malam kami. Aku peluk ia dari belakang.

“Makasih banyak yo, Mak. Maaf kami ngerepoti terus selamo disini”, bisikku ke telinganya.

Emak merangkulku dan tertawa cekikikan. Tidak paham apa yang tengah merasuki anak gadisnya satu ini.

Malamnya, aku menarik semua teman sekelompokku untuk ikut makan malam bersama Emak dan Bang Umar. Persetan dengan mereka yang bilang diet lah, yang tidak biasa makan nasi malam-malam lah, yang susah buang hajat lah.

Malem ini kito upload foto nasi samo lauk kito ke grup Line. Lah bosen kelompok lain cuma liat rai kalian”, perintahku. Selain Kak Edo dan Faisal, semua orang menatapku heran.

Kami duduk bersila di atas tikar, menyantap nasi, sayur daun labu, tempe goreng, ikan asin dan sambal terasi dengan tangan kami. Semuanya dimasak langsung oleh Emak, khusus hanya untuk kami, bujang-gadis malas yang kerjanya kalau tidak berswafoto, hanya tidur-tiduran tidak tahu diri di rumah ini.

Nasi malam itu terasa berkali-kali lebih nikmat. Ada lembut ketulusan dan gurih kerja keras petani Besemah yang turut membumbuinya. Kuseka mataku dengan punggung tangan, pura-pura berkeringat.

.

.

.

.

.

.

*Pamah Salak adalah nama salah satu desa yang ada di Kecamatan Jarai, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Meski termasuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten Lahat, letak desa ini sendiri lebih dekat dengan pusat Kota Pagaralam daripada pusat Kabupaten Lahat. Desa Pamah Salah dan Kecamatan Jarai diapit oleh Gunung Dempo dan Bukit Barisan. Kata Pamah sendiri berarti 'tanah berlumpur', dan nama Pamah Salak diambil dari kondisi tanah di sekeliling desa ini yang berlumpur dan dulu banyak ditumbuhi tanaman salak. Sebelum dinamai Pamah Salak, desa ini dikenal dengan nama Desa Mangun Sari. Sebagian besar masyarakat Desa Pamah Salak berprofesi sebagai petani padi dan kopi.

Pilih Bangga Bangga 50%
Pilih Sedih Sedih 50%
Pilih Senang Senang 0%
Pilih Tak Peduli Tak Peduli 0%
Pilih Terinspirasi Terinspirasi 0%
Pilih Terpukau Terpukau 0%

Bagaimana menurutmu kawan?

Berikan komentarmu