Menyelami Kehidupan Masyarakat Arab di Kampung Al-Munawwar

Menyelami Kehidupan Masyarakat Arab di Kampung Al-Munawwar
Jalanan di Kampung al-Munawwar. Tampak seorang penduduk wanita yang mengenakan niqab hendak pulang ke rumahnya © Redaksi

Sumatera Selatan memang unik. Bukan hanya karena ragam kuliner dan tempat wisatanya, tapi juga karena komposisi masyarakatnya yang seperti gado-gado, beragam. Coba pikirkan. Di Kota Palembang saja sejak masa Kesultanan Palembang Darussalam, sudah ada beberapa etnis yang menempati berbagai sudut kota. Sebut saja etnis Tionghoa, Arab, India, Melayu dan Jawa. Semuanya berasimilasi dan bertahan selama ratusan tahun, bahkan hingga hari ini. Beberapa etnis juga mendirikan komunitas dan pemukiman mereka sendiri-sendiri.

Kali ini saya berkunjung ke salah satu pemukiman orang Palembang beretnis Arab yang paling tersohor di Palembang : Kampung Al-Munawwar. Para penggemar kopi dan photo-hunting tentu sudah tak asing dengan kampung bernuansa vintage di tepian Sungai Musi ini. Terletak di Kelurahan 13 Ulu, Kampung Al-Munawwar merupakan pemukiman etnis Arab pertama di Kota Palembang. Nama Kampung Al-Munawwar diambil dari nama salah seorang ulama berdarah Arab bernama Habib Abdurrahman Al-Munawwar, ulama yang dulunya berperan menyebarkan Islam di wilayah tersebut. Lambat laun, tempat tinggal Habib Abdurrahman berkembang menjadi sebuah pemukiman komunitas Arab, yang kini dikenal dengan sebutan Kampung Arab 13 Ulu atau Kampung Al-Munawwar.

Di Kampung Al-Munawwar sendiri terdapat delapan bangunan tradisional yang masih dipertahankan bentuk utamanya sejak kampung tersebut didirikan. Masing-masing bangunan  berusia tak kurang dari 200 tahun! Bangunan-bangunan epik tersebut meliputi masjid di tepian Sungai Musi, Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah Al-Kautsar, serta rumah-rumah tradisional. Dari segi arsitektur, bangunan-bangunan di Kampung Al-Munawwar, khususnya rumah, menawarkan keunikan tersendiri. Arsitektur Eropa dan rumah limas tampak seolah bertemu dan saling mengisi di rumah-rumah penduduknya. Salah satu rumah yang paling mencolok adalah “Rumah Batu”, rumah warga pertama yang saya temui ketika memasuki kompleks Kampung Al-Munawwar. Rumah batu sendiri adalah bangunan ketiga yang dibangun di Kampung Al-Munawwar. Disebut Rumah Batu, karena arsitektur rumah tersebut mengadopsi bentuk rumah limas, namun didirikan di atas fondasi batu yang ditinggikan. Konon, Rumah Batu dulunya pernah dijadikan tempat perlindungan penduduk setempat ketika terjadi Perang 5 Hari 5 Malam pada tahun 1947.

Keunikan lain dari Kampung Al-Munawwar juga terdapat pada masyarakatnya. Semua warganya adalah pemeluk Islam. Hal tersebut turut mempengaruhi budaya mereka dalam kehidupan sehari-hari. Penduduk kampung menyekolahkan anak mereka di MI dan MTs Al-Kautsar yang ada di Kampung Al-Munawwar. Hal lain yang unik? Madrasah Al-Kautsar sendiri meliburkan muridnya di Hari Jumat, tapi tetap mengadakan kegiatan belajar-mengajar  di Hari Ahad! Persis sekolah di negara-negara Arab.

Selepas bangku MTs., anak laki-laki biasanya akan dikirim ke pesantren di luar kota untuk memperdalam ilmu agama, sementara anak-anak perempuan tetap tinggal menetap di kampung. Penduduk laki-laki yang sudah tua di kampung biasanya berprofesi sebagai pedagang—profesi yang sering dilekatkan dengan identitas warga keturunan Arab—dan tiap harinya baru pulang ke rumah menjelang petang. Hal tersebut cukup menjelaskan mengapa Kampung Al-Munawwar tampak sepi di jam-jam kerja. Kampung biasanya akan ramai pada hari-hari tertentu, seperti hari raya, tiap awal bulan hijriyah atau tiap Senin sore ketika diadakan pengajian rutin di lapangan Kampung Al-Munawwar.

Nuansa Islami juga turut mempengaruhi tata tertib berkunjung di Kampung Al-Munawwar.  Salah satu tata tertib tersebut adalah larangan berboncengan bagi pengunjung laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, jika pengunjung tersebut datang dengan membawa sepeda motor. Pengunjung yang bukan mahram juga dilarang berfoto berdua. Tata tertib lainnya  yang sangat perlu digaris bawahi adalah kewajiban menutup aurat bagi pengunjung laki-laki dan perempuan. Mungkin sudah banyak yang paham tentang aurat perempuan, tapi bagaimana dengan laki-laki? Aurat laki-laki meliputi bagian lutut hingga pusar. Itu artinya, pengunjung laki-laki dilarang mengenakan celana pendek di atas lutut. Jika mengenakan celana pendek, maka hendaknya meminjam sarung yang sudah disediakan oleh warga yang menjaga pintu masuk kampung. Bayangkan saja, kalian berkeliling Kampung Al-Munawwar sambil mengenakan sarung, padahal azan sholat Zuhur masih lama! Maka untuk menghindari kejadian tersebut, alangkah baiknya jika calon pengunjung mengenakan pakaian yang sopan sejak berangkat dari rumah. Meski terkesan saklek, tapi sebagai pengunjung yang bijak, kita harus bisa memahaminya dari sudut pandang pengelola slaah satu kampung wisata di Palembang ini. Tata tertib sendiri dibentuk bukan untuk mempersulit siapa pun, tapi agar tercapai kemashlahatan bersama antara warga dan pengunjung dari luar kampung.

Warga Kampung Al-Munawwar sendiri sangat ramah dan terbuka bagi siapa pun yang berkunjung dan ingin belajar sejarah Kampung Al-Munawwar. Di depan masing-masing bangunan sudah terdapat papan petunjuk yang menjelaskan filosofi bangunan tersebut dalam tiga bahasa : bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa Arab. Pengunjung tak akan kesulitan dalam menggali sejarah Kampung Al-Munawwar.

Dalam beberapa kesempatan tertentu, warga sekitar biasanya akan menyambut tamu secara khusus dalam sebuah jamuan makan. Warga biasanya akan menyajikan masakan khas Arab berupa nasi kebuli, kari, malbi, selado dan sambal nanas. Hidangan full-course khas timur tengah tersebut dinamai munggahan, yang disajikan di atas lantai berlapis kain serbet dan dilengkapi dengan Kopi Sendok Mas, kopi khas Palembang yang diproduksi di Kampung Al-Munawwar. Jamuan tersebut umumnya diadakan jika tamu yang hendak berkunjung adalah pejabat tinggi atau tamu kehormatan. Namun bagi pengunjung yang bukan ‘tamu kehormatan’, jangan khawatir. Paket nasi kebuli lauk ayam goreng bisa diperoleh di salah satu kedai yang ada di Kampung al-Munawwar.

Duduk manis sambil menyesap kopi Sendok Mas di rumah warga, melempar pandang ke Sungai Musi. Apalagi kurangnya hidup ini? Kampung Al-Munawwar merupakan salah satu destinasi wisata yang tak boleh dilewatkan oleh turis mana pun yang berkunjung ke Palembang. Bagi kalian yang tertarik untuk berkunjung, tak perlu repot. Cukup siapkan uang lima ribu rupiah untuk membayar karcis masuk, google map, lalu kamera dengan ruang penyimpanan yang banyak. Ada banyak sekali latar berfoto yang epik di Kampung Al-Munawwar. Selamat mencoba!

Pilih Bangga Bangga 40%
Pilih Sedih Sedih 0%
Pilih Senang Senang 20%
Pilih Tak Peduli Tak Peduli 0%
Pilih Terinspirasi Terinspirasi 0%
Pilih Terpukau Terpukau 40%

Bagaimana menurutmu kawan?

Berikan komentarmu