Mengintip ke Dalam Rumah Ong Boen Tjit, Saudagar Tionghoa Kaya dari Abad ke-18

Mengintip ke Dalam Rumah Ong Boen Tjit, Saudagar Tionghoa  Kaya dari Abad ke-18
Kediaman baba ong boen tjit ©imgrum

Perjalanan saya hari itu mengingatkan saya pada kisah Borno, si pengemudi perahu tradisional sepit dalam novel “Aku, Kau, dan Sepucuk Angpau Merah” gubahan Tere-Liye. Ada beberapa elemen dalam prosa tersebut yang melekat dengan jelas dalam kepala saya hingga saat ini, bisa jadi karena kedekatannya dengan kehidupan saya—seorang warga Palembang—sehari-hari. Elemen-elemen tersebut hadir dalam bentuk deru suara mesin perahu, air sungai yang kecokelatan, gelombang air yang menyapu tubir dermaga, juga aroma hio yang menguar dari balik tembok papan rumah panggung kayu. Iyap! Kami tengah menyelami budaya hidup orang sungai. Bedanya, Borno hidup di pinggiran Sungai Kapuas, sementara Ong Boen Tjit dan anak-cucunya hidup di pinggiran Sungai Musi.

Nah, Siapa pula Si Ong Boen Tjit ini? Saya pun turut memikirkan pertanyaan yang sama.

Berkat informasi dari seorang kolega, saya berangkat ke dermaga BKB (Benteng Kuto Besak) untuk menemukan jawaban pertanyaan tersebut di tengah siang hari  yang, kalau meminjam istilah orang Palembang, panas bedengkang. Sesuai dengan yang dijanjikan pengurus GenPI (Generasi Pesona Indonesia) Palembang selaku penyelenggara acara bertajuk ‘Pasar Baba Boen Tjit’ pada hari itu, maka sebuah perahu ketek pun disediakan untuk mengantarkan kami dengan gratis ke Rumah Ong Boen Tjit yang baru-baru ini sangat tersohor. Moda transportasi yang cuma-cuma tersebut tentu direspon dengan antusias oleh calon pengunjung Pasar Baba Boen Tjit.

Perjalanan kami pun berlangsung singkat. Rasanya baru lima menit saya duduk di perahu, dan tahu-tahu saja kami semua sudah bertambat di sisi lain Sungai Musi. Kediaman Ong Boen Tjit ternyata tak terlalu jauh jika ditempuh lewat jalur air.

Turun dari perahu ketek, saya segera menuju alun-alun tempat diselenggarakannya Pasar Baba Boen Tjit. Sebuah tirai dari daun nipah kering tergelar melintang di pintu masuk alun-alun, melambai-lambai ditiup angin seolah menyambut kedatangan kami. Beberapa stand penjual makanan tampak berjejer di satu sisi, menawarkan berbagai jajanan khas Palembang, mulai dari penganan ringan seperti kue kumbu, bluder, kemplang tunu dan pempek panggang  hingga ke kudapan berat seperti lakso, celimpungan, mie celor dan pempek kapal selam. Di sudut lain tampak sebuah panggung kecil, sementara dihadapannya telah disusun beberapa meja dan kursi berukuran kecil khusus untuk pengunjung yang akan mengikuti rangkaian kegiatan Pasar Baba Boen Tjit hingga petang hari nanti.

Sebagai pembukaan, Pasar Baba Boen Tjit menyuguhkan pentas seni tari, drama dan musik untuk menghibur para pengunjung. Para penari dari Sanggar Seni Elok Emas dengan piawai membuka acara hari itu dengan menampilkan Tari Peranakan, ditutup dengan riuh tepuk tangan penonton. Usai tarian, pengunjung kembali dihibur dengan penampilan musik M-MKR Band dari UIN Raden Fatah Palembang, lalu diakhiri dengan pementasan drama “Legenda Antu Banyu” oleh Tim Drama Stisipol Candradimuka Palembang.

Namun bagi saya, semua rangkaian hiburan tersebut adalah sekedar appetizer penggelitik perut sebelum saya mengenyangkan diri dengan hidangan utamanya : Rumah Ong Boen Tjit yang legendaris itu sendiri!

Sekilas dari seberang alun-alun, rumah Ong Boen Tjit nampak tak berbeda dari rumah papan milik warga Palembang pada umumnya. Suasana berbeda baru saya rasakan saat saya  melangkahkan kaki ke teras rumahnya. Sepasang plang kayu dengan ukiran emas huruf mandarin tampak menggantung vertikal di kedua sisi pintu masuk rumah. Puluhan  pengunjung Pasar Baba Boen Tjit nampak tak henti-hentinya keluar-masuk pintu. Segera setelah suasana di dalam rumah cukup lengang, barulah saya dapat masuk dan mengamati keantikan hunian Tionghoa yang berusia tiga abad tersebut dengan lebih seksama.

Pada ruang tamunya yang luas, berbagai foto hitam putih tampak tergantung dengan anggun di beberapa sisi. Salah satu foto tersebut bertuliskan ‘Ong Eng Tuan, Saudagar Pedagang Hasil Bumi’. Selidik punya selidik, nama Ong Boen Tjit yang menjadi cikal bakal tajuk acara Pasar Baba Boen Tjit hari itu ternyata adalah nama salah satu anak dari Ong Eng Tuan yang meneruskan usaha keluarganya. Ong Boen Tjit memiliki seorang kakak perempuan bernama Ong Kui Nio dan  seorang kakak laki-laki bernama Ong Boen Kim, sementara keturunannya yang menghuni dan merawat rumah besar tersebut saat ini merupakan keturunan generasi ke-8 Ong Boen Tjit.

Sebagaimana rumah limas—model rumah masyarakat Palembang dahulu kala—arsitektur Rumah Ong Boen Tjit sendiri tak terlepas dari pengaruh budaya Melayu Palembang. Bagian dalam rumah Ong Boen Tjit nampak terbagi dalam beberapa sekat ruangan yang memiliki tingkatan (kijing), menyerupai sistem bengkalis dalam rumah limas.

Meski fungsi sekat ruangan pada rumah Ong Boen Tjit mungkin tidak sama dengan rumah limas, namun terdapat beberapa kemiripan di antara keduanya. Contohnya seperti pada bagian teras yang dalam budaya Palembang disebut Pagar Tenggalung, berfungsi sebagai beranda dan tempat bercengkerama dengan masyarakat sekitar yang berlalu lalang. Rumah Ong Boen Tjit pun memiliki teras serupa yang dikelilingi pagar. Bagian lain yang serupa adalah ruang tamu rumah Ong Boen Tjit yang pada rumah limas biasa disebut jogan, tempat berkumpulnya tamu laki-laki—atau sebagian orang juga percaya sebagai tempat berkumpulnya tamu dari golongan Kiagus. Perbedaan yang mencolok baru tampak saat memasuki tingkat ruangan ketiga, tempat tergelarnya sebuah altar peribadatan keluarga Ong Boen Tjit. Selain di ruangan tengah, sebuah altar lain juga terdapat di ruangan terakhir yang juga berfungsi sebagai ruang keluarga. Dupa yang sebelumnya dinyalakan menyebarkan aroma harum ke segala penjuru ruangan.

Tiga abad yang lalu, tepatnya pada masa Kesultanan Palembang Darussalam, tata letak pemukiman Kota Palembang diatur sedemikian rupa berdasarkan etnis, status sosial dan pekerjaan masyarakat Palembang pada masa itu. Etnis tionghoa yang pada masa tersebut masih merupakan salah satu etnis pendatang di Palembang mendapatkan tempat bermukim di pesisir Sungai Musi, jauh di luar Keraton Kuto Gawang yang merupakan pusat pemerintahan Palembang. Hal tersebut menyebabkan banyaknya orang tionghoa yang bermukim di atas rakit. Kenyataan bahwa rumah keluarga Ong Boen Tjit telah berdiri sejak saat itu sendiri merupakan sebuah keajaiban! Kemampuan keluarga saudagar tersebut untuk mendirikan rumah panggung permanen yang besar tentu mengindikasikan bahwa kekayaan keluarganya tidak main-main. Bahkan konon, kekayaan Ong Boen Tjit begitu melimpah sehingga cukup untuk menghidupi keturunannya sampai generasi ketujuh.

Sumarni Bayu Anita, Ketua Pelaksana Pasar Baba Boen Tjit turut menyampaikan beberapa harapannya selagi rangkaian acara berlangsung. “Harapan kami ke depannya Rumah Baba Boen Tjit ini dapat menjadi destinasi wisata baru bagi masyarakat Kota Palembang”, ungkapnya. Sementara ketika ditanya kendala apa yang paling besar dalam penyelenggaraan Pasar Baba Boen Tjit, Mbak Sumarni menyatakan bahwa kesulitannya terdapat pada jarak. “Karena peserta harus menyeberangi sungai untuk tiba di lokasi acara”, ujarnya. Rumah Baba Boen Tjit sendiri beralamat lengkap di Lorong Saudagar Yucing No. 55 RT. 050 RW. 002 Kelurahan 3-4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu 1. Alamat tersebut memungkinkan untuk  dicapai dengan perjalanan darat, namun letaknya yang cukup jauh dari jalan raya dan tidak dapat dicapai kendaraan roda empat membuat Rumah Ong Boen Tjit jarang dikunjungi wisatawan. “Semoga untuk seterusnya program ini dapat menjadi agenda tahunan GenPi Palembang”, ujar Mbak Marlina.

Saya sendiri selaku turis lokal untuk saat ini baru bisa meng-amin-kan harapan rekan-rekan GenPI dalam menjadikan Rumah Ong Boen Tjit sebagai destinasi wisata baru di Palembang. Sejatinya, masih banyak sekali hal yang perlu dibenahi bersama-sama, baik oleh pemerintah  maupun masyarakat sekitar agar Rumah Ong Boen Tjit dapat menjadi tujuan wisata pilihan warga Palembang. Beberapa aspek yang perlu dibenahi tersebut berkaitan dengan ketersediaan transportasi air dan dermaga perahu khusus untuk turis, kebersihan lokasi wisata dan ketersediaan pemandu wisata yang dapat menjabarkan informasi sejarah Rumah Ong Boen Tjit secara valid. Selain dukungan teknis, pemerintah juga perlu menyertai penyempurnaan objek wisata baru tersebut dengan strategi-strategi yang ampuh untuk menarik minat berkunjung warga lokal.

Pilih Bangga Bangga 0%
Pilih Sedih Sedih 0%
Pilih Senang Senang 0%
Pilih Tak Peduli Tak Peduli 0%
Pilih Terinspirasi Terinspirasi 100%
Pilih Terpukau Terpukau 0%

Bagaimana menurutmu kawan?

Berikan komentarmu